PERJUANGAN HEBAT IBU MELAWAN KANKER HINGGA AKHIR

21.16

Hari ini adalah malam terakhir bulan Ramadhan. Ramadhan tahun ini rasanya sangat berbeda jauh dengan Ramadhan sebelum sebelumnya. Saya tidak menyangka, di Ramadhan 1442H ini langsung tidak bersama Papa dan Ibu. Keduanya, yang saya sayangi, meninggal di berbeda tahun tapi hanya beda 4 bulan. 

Setiap manusia pasti mengharapkan mendapatkan hari-hari yang tidak begitu berat mulai dari awal hingga akhir tahun. Begitu pula saya. Setelah kepergian Papa dan mas Iksan, saya berharap di 2021 merupakan tahun yang tanpa harus kehilangan seseorang lagi.  Apa boleh buat jika Allah berkehendak tidak sesuai dengan harapan saya? 

Kembali lagi saya merasakan duka yang amat dalam dan harus mengikhlaskan kepergian Ibu setelah berjuang melawan kanker selama setahun ini di awal bulan Maret, menyusul Papa 4 bulan kemudian. Berbagai perjuangan telah Ibu lalui. Berobat dan melawan rasa sakitnya pun saya melihat dari awal hingga di titik Ibu sudah merasa capek dan sudah tidak kuat. Perjuangannya tidak akan sia sia dan akan terus saya ceritakan pada anak cucu. Sebenarnya saya sedih karena Aisyah tidak berkesempatan untuk tumbuh dan bisa bermain lebih lama dengan Ibu setelah tidak dapat berjumpa dengan Papa dan Abi. Serasa anak-anak saya tidak diberi kesempatan untuk mengenal dan melihat sosok kakek neneknya dari saya. Meski pernah berjumpa dan bermain selama 4 bulan, tapi sudah pasti Aisyah tidak akan mengingatnya. 

Postingan hari ini saya ingin menceritakan betapa kuat, tegar, dan hebatnya Ibu selama setahun menjadi pejuang terhebat di mata saya. Semua kisah perjuangan ini berawal dari tahun 2020 dimana terjadi tepat setelah acara akad nikah saya berlangsung, Ibu kembali melanjutkan aktifitasnya untuk bekerja PP Jakarta Surabaya - Surabaya Jakarta di tiap minggunya. Kemudian di akhir Januari Ibu tiba-tiba merasakan sakit tidak enak badan dan batuk. 

Februari 2020
Batuk tak kunjung sembuh sampai pertengahan bulan, ditambah demam dan meriang. Ibu melakukan berbagai tes dan pemeriksaan untuk mengetahui ada apa dengan tubuhnya. Akan tetapi beberapa hari kemudian Ibu mulai curiga kenapa perutnya Ibu terlihat semakin membesar. Kalau menurut saya, perut Ibu memang dari dulu terlihat besar. Sehingga saya tidak curiga apa apa. Ibu meminta periksa USG di mbak Tika yang kebetulan beliau seorang dokter Obgyn. Dari hasil USG terlihat, diparu paru Ibu terdapat cairan yang cukup banyak, mungkin ada sekitar 1 liter.

Akhir bulan, saya mulai curiga sama tubuh sendiri. Rasanya sangat berbeda dari sebelum sebelumnya. Jadwal haid masih beberapa hari lagi, tapi saya kayak sudah ada feeling kalau saya hamil. Saya belum berani untuk test pack. Hingga di tanggal yang seharusnya sudah waktunya, saya masih belum menstruasi. Maka itu saya memberanikan diri mencoba tes selama 3 hari berturut turut setelah bertanya tanya berbagai sumber yang sudah berpengalaman dan berilmu. Alhamdulillah saya positif hamil. Rencananya saya mau memberi kejutan untuk memberitahukan berita bahagia ini namun gagal karena sudah ketahuan. Dan kami belum memberitahu siapa siapa. Keesokannya Ibu harus opname di RS untuk dilakukan penyedotan pengeluaran cairan di paru-parunya Ibu dan disana saya berencana untuk memberitahukan tentang kehamilan saya ini supaya Ibu menjadi semangat sembuh agar bisa berjumpa dengan cucunya.

Setelah 2 hari di RSI, ternyata Ibu dirujuk ke RS Graha Amerta untuk chemotherapy. Saat itu saya tidak mengerti kenapa harus di chemo, karena pembahasan yang digunakan dokter ke Ibu menggunakan bahasa dokter yang otomatis awam bagi saya. Pulang dari RSI, Ibu mencoba untuk CT Scan. Saya mencoba menemani Ibu tes darah dan berbagai tes yang dilakukannya. 

Maret 2020
Setelah melakukan berbagai pemeriksaan akhirnya Ibu divonis terkena kanker. Sebelum Ibu divonis dan merasa sakit, Ibu sempat bercerita kepada mas Wasiq bahwa mbah mbah ada turunan yang sakit kanker dan Ibu berharap agar Ibu tidak diturunkan penyakit ini. Namun ternyata Allah berkehendak lain. Semenjak divonis, Ibu berusaha berobat dengan chemo di rumah sakit. Setelah chemo pertama, tiba tiba datanglah virus Covid-19. Terciptalah konsep lockdown, PSBB, dan sebagainya. Berasa cukup bersyukur karena Ibu bisa stay at home untuk melanjutkan pekerjaannya sambil tetap bisa berobat, menemani, dan merawat Papa. Alhamdulillah dari awal pengobatan, saya masih berkesempatan beberapa kali menemani bahkan menginap bersama Ibu meski sedang hamil dimana mual muntah selalu menjadi bayang bayang. 

September 2020
Enam kali chemo telah dilakukan dan mendapatkan hasil yang bagus sehingga bisa dilakukan pengobatan tahap selanjutnya. Langkah selanjutnya adalah operasi pengangkatan rahim. Dari bulan ini saya sudah tidak bisa menemani Ibu karena saya sudah hamil besar dan harus mulai mengurangi kegiatan atau aktifitas diluar akibat adanya Covid. Keluar pun cuma untuk kontrol saja. Kalau tidak penting penting banget mah ya dirumah saja.

Operasi berjalan dengan baik dan lancar. Ibu kembali pulang ke rumah dan beraktifitas seperti biasa tapi yang tidak berat dan tetap WFH tentunya. Kami tidak mengijinkan Ibu untuk balik bekerja di Jakarta. Akhirnya dari awal tahu sakit Kanker, Ibu sudah minta pemindahan tugas kembali di Surabaya meski harus turun pangkat atau jabatan. Terpenting bagi kami adalah kesehatan Ibu, bagaimanapun nantinya bekerja di bagian apa, kami tetap sayang beliau. 

Oktober 2020
Hari berjalan dengan baik dan tenang tanpa ada keluhan sakit yang terlalu berarti di Ibu. Hingga pada hari Sabtu tengah malam, Ibu yang terbangun dari ketidurannya di sebelah Papa, menyadari bahwa Papa sudah meninggal. Cerita detail tentang Papa juga akan saya bagikan di postingan selanjutnya. Malam itu Ibu menangis sejadi jadinya duduk di samping kasur tempat Papa memejamkan matanya. Saya datang dan duduk bersimpuh dibawah Ibu. Mencoba menenangkan dan memberikan kata kata penguat. Hari berlanjut hingga Papa di makamkan dan keesokannya saya melahirkan putri cantik, pengganti Papa, penghibur kami sekeluarga.

Dalam keadaan duka, pengobatan tetap berlanjut. Sesuai prosedur pengobatan, setelah operasi masih harus chemo lagi. Sebelumnya perlu melakukan tes terlebih dahulu untuk melihat apakah terjadi perbaikan atau tidak. Namun hasil tes menunjukkan kabar yang menyedihkan. Kadar kanker yang sebelum di operasi menurun, justru naik setelah operasi. Saya beranggapan mungkin karena Papa baru saja tiada, Ibu kepikiran, lalu naik lagi. Sehingga chemo masih harus berjalan sebagaimana mestinya.

Desember 2020
Ibu masih sempat sehari kembali ke Jakarta untuk melaksanakan tugasnya memimpin pengukuhan profesor untuk terakhir kalinya. Ibu bersikukuh melakukan ini. Rencana awal Ibu akan disana selama 3 hari tapi mbak Tika tidak setuju tentunya, oleh karenanya Ibu bisa melakukan tugas dengan dikawal oleh mbak Tika dan hanya boleh sehari saja. Tidak lebih. Karena Ibu masih dalam keadaan yang kurang sehat dan harus chemo lagi di bulan ini. 

Sepulangnya bertugas, Ibu langsung dijadwalkan chemo. Lagi lagi saya tidak bisa menemani. Saya masih menyusui dan tidak mau menitipkan Aisyah pada siapapun kecuali keluarga terdekat seperti Ibu, Umi dan kakak. 

Berhubung di tahun ini untuk terkena dampak lockdown, covid, dan sebagainya, perjumpaan ke seluruh keluarga menjadi tidak ada bahkan saat lebaran, mumpung ada kesempatan dan waktu libur cukup lama, diputuskan staycation sewa rumah atau vila di Surabaya untuk menghabiskan waktu bersama biar tidak stres dirumah mulu. Tentunya saat chemo sudah terlaksana seperti biasa membutuhkan waktu sampai 3 hari di RS. Seperti sebelum sebelumnya, selesai chemo, Ibu masih merasa lemas dan terasa sakit di bagian perut. Namun sakitnya ini suka hilang timbul hilang timbul. Bahkan saat staycation Ibu masih suka tiba tiba terasa sakit jadi memilih rebahan di kasur. Selera makan pun ikut menurun.

Januari 2021
Efek sakit dari chemo masih terus berlangsung hingga di bulan Januari, bahkan lebih intens. Bisa saja tiba tiba Ibu menelpon di tengah malam mengeluh kesakitan di bagian perut. Hampir tiap hari Ibu merasa sakit di bagian perut. Keluhannya makin bertambah. Tidak bisa kentuk dan sendawa, sampai sampai perut Ibu menjadi besar seperti sedang hamil. Terlebih keluhannya suka terjadi kalau Ibu habis makan sesuatu, entah itu sayur, nasi, maupun lauk. Pelan pelan makanan Ibu berganti menjadi bubur yang cair banget. Kayak tekstur MPASI bayi yang baru pertama kali makan.

Lama kelamaan perut Ibu sudah tidak mengkompensasi makanan dalam bentuk apapun. Ibu kecapekan sedikit perut sudah mulai bereaksi kembali. Ibu sampai seringkali tidak bisa tidur. Pagi sehabis sholat Subuh, Ibu suka minta dipijatkan kakinya dengan request sampai Ibu tidur. Saya turuti selagi saya mampu dan Aisyah belum bangun. 

Pernah suatu ketika di siang hari saat Ibu sedang kumat kumatnya sakit, saya mencoba mengompres perut Ibu sambil saya pijatkan kakinya serta tangan satunya dijadikan pegangan Ibu agar saat sakit bisa meremas tangan saya, Ibu meminta maaf selalu ketika rasa sakit itu datang. Dan setelah itu, setiap kali Ibu sudah kesakitan, Ibu akan terus mengulang meminta maaf terus menerus. Pada suatu malam habis sholat Maghrib, ketika saya habis menyusui, mas Wasiq yang usai mengimami Ibu tiba tiba menghampiri saya dan berkata sepanjang sholat Ibu menangis sampai selesainya. Saya menghampiri Ibu di kamar, memeluknya. Ibu mengeluhkan segala pikirannya, rasa sakitnya, kapan usai, minta maaf dan berkeinginan dapat melihat cucu cucunya tumbuh besar dewasa. Saya elus elus kepala pundaknya, saya ucapkan, "Ibu kuat, Ibu hebat, semua rasa sakit ini akan menjadi penolong Ibu, insyaAllah akan menjadi penghapus dosanya Ibu. Ibu kuat. Ibu harus yakin kalau Ibu bisa sembuh, nanti kalau sudah sembuh bisa main sama Aisyah. Ibu pasti bisa". Saya ucapkan terus menerus sampai Ibu tenang.

Sungguh berat harus berkata seperti itu, saya sendiri menyaksikan bagaimana Ibu melawan rasa sakitnya yang semakin intens, bersusah payah menahannya, terus berpasrah diri sama Allah. Saya ingin ikut menangis bersama tapi saya harus kuat dan tegar. Ibu butuh pendorong dan penyemangat. Kalau saya ikut menangis di depannya, takutnya membuat Ibu menjadi drop.

Akhirnya Ibu dijadwalkan masuk RS lagi untuk di observasi dan melanjutkan terapi karena Ibu sudah tidak bisa makan apapun, tiap ada makanan yang masuk, Ibu selalu muntah muntah dan menjadi berkeringat sangat banyak. Disaat masih berjuang melawan sakit, Ibu pernah berpesan sama saya untuk terus mengingatkan Ibu sholat bagaimanapun keadaannya nanti. Tertusuk sekali rasanya diri saya ini, disaat sakit Ibu masih meminta dituntun ingat sama Allah, apalah saya yang masih sehat ini. Lagi dan lagi saya tidak bisa menemani, aturan RS makin ketat. pasien dan penunggu harus di rapid dulu, dan tidak boleh berganti penunggu. Jadilah mbak Tika yang harus bolak balik RS - kerja - rumah - RS setiap hari. 

Februari 2021
Sudah 20 hari lamanya Ibu di opname, semenjak masuk RS, Ibu tidak mengkonsumsi makanan apapun, hanya melalui infus hingga akhirnya diputuskan dipasang cvc, alat penyaluran (diletakkan bagian dada sebelah kiri) susu khusus pengganti makanan agar tidak tercampur dengan infus yang pada umumnya melalui tangan. Lalu tiba tiba komunikasi online antar semua keluarga untuk menentukan tindakan lanjutan yang harus dijalani Ibu, selain itu Ibu juga sudah mulai membahas tentang waris (sebenarnya sudah terbahas dari dulu tapi lebih intens setelah Papa meninggal). Dari video call terlihat kondisi mental Ibu sudah mulai menurun, tidak ada semangat dan sangat pasrah. Dari situ terciptalah ide untuk melakukan doa bersama keluarga dan kerabat secara online melalui zoom untuk kesembuhan Ibu.

Semenjak Ibu di RS, saya jadi rajin foto fotoin Aisyah (selain itu karena anaknya sudah mulai menggemaskan dan sayang kalau tidak diabadikan) dan saya kirimkan foto videonya ke Ibu, mungkin bisa jadi sedikit hiburan Ibu selama disana. Dari komunikasi online diputuskan Ibu pulang saja, untuk melepas rindu dengan anak cucu biar jadi lebih semangat untuk sembuh karena bertemu dengan yang dicintai. Nah, sebelum Ibu diperbolehkan pulang, dengan sekejap kamar Ibu diubah layaknya kamar RS. Kasur berdipan yang biasa Ibu pakai, langsung dipindah dan diganti dengan bed RS, tambahan satu kasur khusus untuk penunggu. Jadi saat Ibu pulang nanti, Ibu akan dikawal dan ditemani seorang perawat yang khusus melayani dan menjaga selama 24 jam. Selain itu setiap sudut di kamar Ibu dibersihkan dengan desinfektan, ganti seprai baru, juga cuci bersih korden.

10 Feb, 16.20 | Yang ditunggu tunggu akhirnya datang juga, Ibu tiba dari RS. Akibat terlalu lama di RS dan lebih banyak berbaring, mengakibatkan Ibu menjadi susah berjalan dengan normal, maka harus menggunakan tongkat serta berjalan dengan pelan dan sangat hati hati sekali. Saat tiba Ibu langsung duduk di kursi ruang keluarga, mulai muncullah rasa sedikit sakit. Padahal saat di RS keluhan keluhan itu tidak ada. Dibuatlah Ibu beristirahat di kamar.

14 Feb, pagi | Untuk mengungkapkan rasa syukur Ibu sudah diperbolehkan pulang, Ibu berniat untuk membagikan nasi kuning ke sanak saudara, namun saudara saudara Ibu memilih untuk datang ke rumah dan menengok Ibu sekaligus memberikan support secara langsung. Kebetulan juga mas Ijal tiba tiba pulang dari Jogja sendirian untuk bertemu dengan Ibu.

Selama Ibu berada di rumah, pagi, siang, sore, bahkan malam, saya sering mengajak Aisyah berjumpa dan bermain bersama Ibu. Sebisa mungkin saat Aisyah sedang tidak menyusu, saya dan Ibu sholat berjamaah dengan meletakkan Aisyah di kasunya Ibu, sembari kami sholat. Semenjak pulang dari RS, Ibu sholatnya hanya bisa duduk dan tidak bisa sujud lagi. Seminggu pertama Ibu tidak ada keluhan yang berarti. Seminggu kemudian, Ibu mulai merasa kesakitan kembali hingga kolik. Dan selama seminggu ini, Aisyah yang biasanya sebelum atau sesudah Maghrib sudah tidur menjadi belum tidur sampai Isya. Aisyah ikut menemani sholat sambil tengkurap di samping Ibu. Setiap usai sholat Maghrib, Aisyah yang biasanya santai dan jarang teriak, menjadi suka berteriak, seolah ingin mengajak ngobrol Ibu sambil menahan rasa sakit. Setiap kali akan keluar dari kamar Ibu setelah sholat Maghrib atau Isya, saya selalu membuat Aisyah salim sama Ibu dan membiarkan Ibu memberikan ciuman untuknya (saya tidak habis pikir, ternyata salim dan ciuman ini merupakan kegiatan terakhirnya Ibu dengan Aisyah).

Hari berlanjut, sakitnya Ibu mulai intens lagi. Keluhannya sama. Tidak bisa buang angin, sendawa, bahkan buang air besar. Mungkin karena selama seminggu selanjutnya Ibu mencoba makan es krim karena bentuknya cair. Ternyata makanan itu justru makin membuat rasa sakit yang lebih tidak tertahankan. TIdak hanya sakit, tapi sehari bisa muntah sampai 4 kali. Di tengah malam usai menyusui pun saya pernah keluar kamar dan mendengar Ibu sedang muntah muntah. Kasihan sekali setiap saat saya melihat Ibu harus menahan sakit. Pasti rasanya sangat lelah sekali. Tidak bisa tidur nyenyak. Baru tidur tiba tiba sakit lagi. Perjuangan Ibu yang sungguh luar biasa. Dalam keadaan sakit pun masih terus ingat beribadah, sholat dan mengaji.

22 Feb | Ibu dijadwalkan lagi masuk RS untuk chemo dengan obat yang dua kali lipat dari sebelumnya. Sungguh sangat disayangkan, sesaat sebelum Ibu berangkat ke RS, Aisyah masih ridur jadi tidak bisa mencium ataupun berpamitan dengan Ibu.

Beberapa hari kemudian, obat chemo sudah masuk. Keluhan mual muntahnya masih berlanjut. Kolik juga sempat terjadi.

Minggu, 13.00 | Saya, mas Wasiq, dan Aisyah memang sudah berencana dari beberapa hari sebelumnya untuk main main ke pondok, rumah Umi. Saat masuk ke rumah, Aisyah tiba tiba langsung menangis menjadi jadi, bahkan saar digendong Umi masih menangis. Padahal biasanya baik baik saja. Aisyah terus menangis, entah digendong atau hanya melihat Umi di depannya.

Sore | Aisyah mulai mencair, mulai tertawa saat bercanda sama Umi. Mulai mau digendong. Saya pun pergi ke kamar untuk rebahan.

Menjelang maghrib | Saat enak enaknya rebahan tiba tiba di grup keluarga, mbak Tika mengirimkan foto Ibu yang sudah memakai masker oksigen dengan chat dari mas Rendra berpesan untuk menyempatkan waktu. Tensi Ibu juga rendah dan nadinya cukup tinggi. Paniklah saya, dengan cepat saya memberitahu berita di grup ke mas Wasiq. Umi menyuruh untuk segera ke RS. Saya masih ragu karena aturan di RS yang tidak memperbolehkan banyaknya penunggu. Setelah menunggu persetujuannya mbak Tika dengan bantuan dokter Pudjo, akhirnya dibolehkan menemui Ibu dengan syarat harus di rapid antigen dulu. Habis Maghrib saya dan mas Wasiq bergegas ke RS. Aisyah sama Umi dulu.

Tiba di RS, saya langsung daftar rapid. Sembari menunggu petugas datang, Bude Nunung dan mbak Nina datang. Bude Nunung juga mau rapid dan menjeguk Ibu. Tak lama, mbak Tika videocall saya dan saudara saudara mengabarkan kalau dokter Pudjo menyarankan untuk memindahkan Ibu ke ICU di RS lainnya yang lebih kompeten, karena RS yang saat itu merawat Ibu tidak biasa merawat pasien dengan kasus komplikasi. Saya tidak setuju karena ICU tidak bisa ditemani dan ditengok, Kasihan saya kalau Ibu harus berjuang sendirian di dalam ruangan dengan hanya berteman alat alat. Akhirnya diputuskan tidak jadi di bawa ke ICU.

Selesai di rapid, sambil menunggu hasilnya, saya dan mas Wasiq pergi keluar dulu untuk makan. Maklum busui habis disedot anak, gampang laperan. Cari makan yang deket deket aja, kebetulan sebelah RS ada soto ayam cak Har, mampirlah kita kesana. Dan mumpung seberangnya ada masjid kita mampir kesana juga untuk sholat Isya. Setelah itu karena diperkirakan akan memakan waktu lama, kita jalan kaki dulu ke indomaret beli air sama camilan gitu buat mas Wasiq dan saudara saudara yang menunggu giliran masuk. 

Cerita saya percepat sedikit ya.. Setibanya di RS, dapat hasil rapid, saya langsung naik ke kamarnya Ibu. Saat masuk, kondisi nya Ibu terlihat lemas dan masih sesak padahal sudah pakai masker oksigen. Beberapa perawat ada di dalam berusaha mengambil sample darahnya Ibu lewat nadi tapi tidak ketemu ketemu. Pas sudah ketemu, keluar sedikit dan nadinya sudah pindah tempat lagi yang terdeteksi. Cari cari lagi, suntik lagi, sampai beberapa kali. Saya kasihan melihatnya. Ibu sudah sesak nafas masih harus menahan sakit lagi ketika disuntik. Saya dijelaskan ambil darah ini untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Ingin sekali saya marahin perawatnya, ingin menyuruh stop suntik suntiknya. Di rumah maupun di rumah sakit, disuntik terus. Tapi mau bagaimana lagi. Itu sudah prosedurnya.

Selama di kamar, saya menggenggam tangan Ibu yang semakin kurus dan rapuh. Sambil saya bacakan ayat kursi, surat 3 qul, dan sholawat. Saat membacakan, saya sempat beberapa kali melihat Ibu berusaha mengikuti bacaan saya. Begitu terus sampai giliran saudara lainnya yang masuk. Sementara itu yang lainnya menunggu di mushola. 

22.00 | Malam itu berjalan dengan cepat, saya memutuskan kembali pulang agar Ibu bisa istirahat. Sebelumnya saya menemui Ibu dahulu. Saya pamitan dan sedikit memberikan semangat. Ibu memberikan satu pesan saja saat itu yaitu "Jadi istri yang sholehah ya," dan Ibu meminta mencium saya tapi karena Ibu memakai masker oksigen, akhirnya saya saja yang mencium Ibu. Sungguh saya tidak menyadari bahwa ini adalah pesan dan ciuman terakhir dari dan untuk Ibu.

Senin, 07.20 | Mbak Tika memberikan kabar kalau Ibu dari semalam tidak tidur, sudah mulai gelisah, minta masker oksigennya dicopot copot, dan tidur miring. Sehingga tidak bisa di tensi.

09.32 | Bude mengirimkan video Ibu yang ditengah sakit dan keterbatasannya masih mengingat sholat Dhuha, sholat sunnah, sholat yang tidak wajib. Tidak lama juga dikirimkan foto Ibu sedang tertidur. Tapi saat melihat raut wajah dan lainnya di foto, saya merasa ada yang berbeda. Seperti ini bukan Ibu yang tidur. Ibu tidurnya tidak begini. Matanya pasti menutup rapat sekali sedangkan yang difoto mata Ibu terbuka sedikit.

13.33 | Saya dan Aisyah dijemput. Hari ini rencananya, saya mau ke RS sedangkan Aisyah dititipkan ke mbak Nina dan mbak Nadia. Saya masih tidak ada feeling apa apa. Bahkan masih mendapatkan berita kalau Ibu sedang sholat Dhuhur saat itu. Saya cuma ingin berjumpa dengan Ibu karena mbak Tika memutuskan untuk akan memindahkan Ibu ke ICU. Saat tiba, saya langsung turun dan pergi begitu saja dari mobil agar Aisyah tidak menangis melihat kepergian saya. 

14.15 | Saya masuk kamar, di dalam sudah ada mbak Tika, bude Nunung, dan mbak Siti. Saya melihat Ibu dalam keadaan terlentang dengan kondisi mata terpejam setengah dan mulut yang terbuka. Saya teringat saat Papa meninggal. Pose Ibu saat itu persis sekali saat Papa tiada. Saya sempat memegang kaki Ibu, terasa sangat dingin. Saya duduk di sampingnya, saya genggam tangan Ibu. Lemas sekali, tidak ada pergerakan apapun. Saya masih belum sadar. Saya masih sempat memijat kakinya. Tidak lama, tiba tiba mbak Tika memanggil manggil Ibu. Digoncang goncangnya badan Ibu. Tidak ada respon. Saya melihat mata mbak Tika mulai berlinang airmata. Saya tersadar. Saya ikutan panik. 

Mbak Tika keluar memanggil suster maupun dokter jaga, saya duduk di sebelah Ibu. Saya mencoba untuk menuntunnya membaca talqin, namun apa daya. Saya tidak kuat dan tidak bisa. Akhirnya saya membacakan surat 3Qul, ayat kursi dan shalawat di telinganya sembari saya genggam tangan Ibu dengan mata tidak melihat ke seluruh bagian tubuh Ibu. Saya takut jika saya benar benar melihat Ibu berhenti nafas. Saya cukup merasakan dari menggenggam tangannya. Di tengah tengahnya saya menyerah, akhirnya Bude Nunung dan mbak Astri yang membacakan talqin tepat di telinga Ibu.

Dokter yang selama ini memeriksa Ibu pun datang dan memberikan saran sebelum di berangkatkan ke HU, sebaiknya Ibu dipasang intubasi karena dengan kondisi seperti ini cukup beresiko. Konon katanya di intubasi itu cara memasukkannya lewat hidung masuk ke saluran pernafasan dan itu cukup menyiksa si pasien. Saya tidak setuju karena sudah cukup Ibu merasakan sakit selama beberapa bulan ini, jangan menambah rasa sakit disisa umurnya. Setelah berkonsultasi dengan dokter anestesi akhirnya Ibu tetap diberangkatkan ke HU tanpa diintubasi maupun tes covid yang sudah tidak memungkinkan. Proses keberangkatan ini sangat beresiko akan tiba tiba berhenti nafas karena alat bantu oksigen selama di ambulan hanya seadanya. 

17.00 | Proses pemindahan Ibu dilakukan. Di ambulan Ibu ditemani mbak Astri dan perawatnya Ibu (mbak Siti). Saya dan mbak Tika mbuntuti dibelakang dengan membawa mobil. Ketika di perjalanan, memang mbak Tika tipe penyetir yang ngebut tapi kalo ngebutnya buntuti ambulan, 2x lebih serem deh bawanya. Sepertinya setiap orang penyetir ngikut ambulan akan serem juga nyetirnya. 

17.30 | Ambulan Ibu sudah tiba duluan karena sempat tertinggal di dekat RS. Mobil parkir langsung menuju UGD. Betapa terkejutnya saat masuk ke dalam, mendengar berita dari mbak Astri, Ibu sudah tidak bernafas. DEG. Tangisan saat itu pecah masih belum percaya. Dokter jaga pun berusaha memberikan tindakan agar Ibu bisa kembali bernafas. 

Entah jam berapa itu , Alhamdulillah Ibu bernafas kembali dengan bantuan intubasi.

19.37 | Ibu sudah mendapatkan tempat di ICU. Saya, mbak Astri, dan mbak Siti mengantarkan Ibu ke ICU, sedangkan mbak Tika menyelesaikan administrasi. Ibu masuk ke dalam, kami tidak boleh masuk. Setelah semua keperluan dan administrasi selesei, ternyata tidak boleh ada yang menunggu di ruang tunggu ICU maupun di dalamnya semenjak pandemi. Perawat akan menelpon jika terjadi atau butuh sesuatu.

Selasa, 02.45 | Mas Wasiq mendapat telepon dari mbak Tika untuk mempersiapkan rumah karena sepertinya Ibu sudah tidak lama lagi tapi entah berapa lama. Mbak Tika akan kesana untuk mengecek tapi sebelumnya mampir rumah dulu mengambil HP Ibu yang saya bawa dari semalam.

03.15 | Innalillahi wa innailaihi rojiun, Ibu dinyatakan meninggal oleh pihak RS. Saya shock. Saya menangis. Setelah saya merasa kuat, saya sedikit memaksakan kuat sebenarnya, saya lanjut beres beres rumah. 

05.13 | Almarhumah Ibu tiba di rumah. Rumah sudah beres. Sudah siap sedia. Dari tempat mandi dan lain lain. 

07.41 | Saya, mbak Tika, dan mbak Astri ikut memandikan jenazah Ibu. Dari pertama tiba di rumah hingga pemandian, saya baru melihat jenazahnya Ibu. Cantik, sejuk, bersih, dan tenang terpancar dari wajah nya.

09.00 | Sesuai permintaan Ibu yang ingin dimakamkan di Bojonegoro dimana sama mbah sudah disiapkan tempatnya dari jauh jauh hari. Ibu diberangkatkan kesana bersama rombongan dengan bus.

13.13 | Ibu usai dimakamkan. Alhamdulillah berjalan dengan lancar. InsyaAllah Ibu meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Di akhir masa hidupnya saat sakit, terbaring, menggunakan tabung oksigen, masih ingat Allah, masih ingat untuk sholat.

Ibu pernah minta tolong dalam keadaan apapun, Ibu minta untuk terus diingatkan sholat dan beribadah lainnya. Allah sendiri yang membantu bagaimanapun keadaan Ibu.

Semoga segala amal ibadah Ibu diterima oleh Allah. Mohon berikan Alfatihah buat Papa ya teman teman. Bagi kalian yang kenal dan pernah bertemu Ibu, saya sebagai anak, meminta ampunan dan maaf dari kalian bila Ibu pernah bersikap dan berkata tidak baik, baik sengaja maupun tidak.

Bismillah, saya kuat, 
Annisa Nurlaili 

You Might Also Like

0 komentar

BLOG POSTS

INSTAGRAM

Subscribe