Love and Heart part 2
13.07
ahiiiii .. akhirnya saya posting lagi tapi posting sebuah cerpen lanjutan dari Love and Heart sebelumnya. sejujurnya gak kepikiran pada awalnya untuk menciptakan yang part 2. tiba-tiba kemaren terlintas gituaja dipikiran well, jadilah cerpen part 2. dan di edisi #eciyeee* kali ini, saya mau ngasih judul yang beneran buat Love and Heart yang pertama, yaitu Memori Terakhir. silahkan klik disini untuk membacanya. dan untuk yang sekarang ini, aku mau ngasih judul Nice Dreams. sudah ah, daripada banyak cincong mending langsung baca aja yang part 2. selamat membaca, semoga tidak bosan saat membacanya :)
--------------------------------------------------------------------------------
****------------------****
Diantara
pepohonan tinggi yang berdaunan lebat sampai menutupi langit-langit, berbagai
macam bunga warna warni dan harum baunya tercium hingga kejauhan. Dipadu
padankan dengan udara sejuk sehingga terasa sedikit dingin di kulit. Namun rasa
dinginnya udara tertutupi dengn sebuah cahaya matahari yang masuk melalui
celah-celah dedaunan. Sebuah taman yang cantik nan asri. Apalagi diiringi oleh
suara kicauan burung yang terdengar sangat merdu.
Aku terduduk dibawah sebuah pohon dengan
mengetik-ketikkan kata per-kata pada laptop abu-abu kesayangannya. Untaian kata
yang tersambung menjadi satu itu terbentuk menjadi sebuah kalimat. Kalimat yang
indah. Lalu kalimat-kalimat yang terkumpul menjadi sebuah paragraf. Paragraf
yang mempesona. Dan setiap paragraf yang telah terkumpul dari banyaknya kata
dan kalimat membentuk sebuah cerita yang menarik untuk dibaca.
Melihat
ke sekeliling taman adalah caraku untuk mencari inspirasi yang bisa diketikkan
dalam bentuk tulisan. Kia asyik pada ketikannya tersebut..
“Kia,”
sapa seseorang. Aku menengadahkan kepalaku ke depan.
“Rooooooooiii!”
teriakku sambil bangkit dari tempatku berteduh dan langsung memeluk Roi, orang
yang menyapaku tadi dengan girang.
Sebuah
pelukan hangat dan aroma tubuh yang amat sangat aku rindukan, kini telah dapat
kulakukan lagi. Tiba-tiba airmata kebahagiaan dan haru mengalir membasahi
pipiku dan tak tersadar telah membasahi kemeja Roi. Kupelkuk sangat erat Roi.
Aku tak mau kehilangan dia lagi. Dia yang telah membuat hidupku menjadi sangat
indah dan penuh warna. Kucium aroma tubuhnya yan begitu khas dan aroma itu
sekarang bertambah wangi.
Roi
melepas pelukanku. Dia memegang kedua pundakku sambil melihat kedua mataku.
Dihapurnya airmata yang telah mengalir sedari tadi. Aku tersenyum bahagia pada
Roi Akhirnya aku dapat bertemu dengannya setelah sekian lama tak berjumpa.
“Aku
kangen banget sama kamu, Roi” ucapku memulai pembicaraan.
“Aku
juga rindu padamu duhai kekasihku, sangat rindu,” Roi mengecup keningku. Sbuah
kecupan yang telah lama tak kurasakan. “Nikmati hari ini bersama aku yuk! Kita
akan jalan-jalan, hanya berdua,”
Aku
mengangguk mempertandakan kesediaanku untuk ikut bersama. Dia menggandeng
tangan kananku dan mengajakku berlari mengelilngi taman yang luas dan indah.
Kami tertawa dan bercanda bersama. Berlarian kesana kemari seperti seorang anak
kecil yang sedang bermain dan seperti seorang pemain sinetron india yang
bernyanyi sambil bersembunyi dengan larian dibalik pohon bersama sang kekasih.
Lalu
Roi berhenti mengejarku. Dia pergi ke sudut taman dan mengambil beberapa rumpat
dan bunga. Aku mendekati Roi. Roi terduduk seketika itu juga, aku pun. Dia
merangkai semua yang ia dapat dan jadilah sebuah mahkota kecil nan cantik.
Dipakaikannya mahkota ciptaannya itu di kepalaku. Aku tersenyum girang ketika
melihat sebuah mahkota buatan Roi terpasang di kepalaku.
Roi
tersenyum melihatku bisa gembira seperti ini. Aku pun tersenyum bahagia dapat
bertemu dengannya, dengannya yang sangat aku cintai. Lagi-lagi dia menatap
kedua mataku seakan-akan dia dapat membaca pikiranku. Tangan kiriku dipegang
olehnya dan pipiku dielus dengan tangan kanannya. Tangannya terasa sangat
lembut dan penuh cinta. Kupejamkan kedua mataku dan menikmati belaiannya.
“Kia,
kamu tahu mahkota yang telah kamu pakai, aku buat dengan sejuta bahkan
triliunan cintaku padamu. Cintaku itu tak akan pernah tergantikan oleh
siapapun. Meski dia selalu merayuku dengan apapun, cintaku akan tetap tertuju
padamu. Apalagi seluruh ragaku ini. Semuanya menjadi milikmu Kia. Semuanya,”
Aku
hanya tersenyum mendengar gombalan dan ungkapan hati Roi.
“Dan
kamu tahu tidak mahkota yang aku buat khusus buat kamu itu sebagai pertanda
bahwa kamu adalah mahkota hatiku. Dibagaikan sebagai sebuah mahkota yang kamu
pakai sekarang ini. Kalau diumpamakan dengan hal lainnya, kamu ini bagaikan
sebuah pencipta tubuhku. Semua organ tubuhku terbuat dari cintamu. Cinta dan
hatimu. Kamu adalah ratuku! Kamu adalah periku! Kamu adalah malaikat
tercantikku! Kamu adalah segala-galanya bagiku!” Roi terhenti. Dia menatap
langit-langit. Lalu dia menatapku. “Kamu lapar?”
Aku
mulai tersadar perutku sudah berdangdutan sedari tadi namun tidak begitu terasa
karena tertutupi oleh kebersamaanku dengannya. Aku mengangguk kecil sedikit
tersenyum malu.
“Ayo
kita makan!” ucapnya mengajakku berdiri.
“Kita
akan makan dimana Roi?” tanyaku bingung.
“Di
sesuatu tempat yang akan kau senangi,” jawabnya sambil tersenyum.
Roi
menggandeng tanganku berjalan menyusuri taman. Melewati sebuah jurang yang dangkal.
Melewati sebuah pohon tinggi lebih tinggi dari pohon lainnya menjulang ke
langit. Melewati semak-semak yang seharusnya sulit dilewati namun dapat
terlintas bersama Roi. Melewati dibawah air terjun yang membasahi tubuh kami
berdua. Tapi basahan dari air terjun itu sungguh menyegarkan raga. Setelah air
terjun itu terlewati, tubuh kami secara sendirinya mengering sendiri tanpa kami
perlu mengeringkannya. Meski badan telah kering, sensasi dari air terjun tadi
masih menghindap di tubuh.
Langkah
kami terhenti pada sebuah taman kecil. “Woooww.. taman yang indah!” ucapku
terkagum. Taman yang dipenuhi dengan bunga mawar, tulip, dan bunga matahari,
bunga favoritku. Bunga-bunga tersebut terlihat indah dipasangkan dengan tanaman
hijau dan dua buah pohon dari kanan dan kiri yang memebengkok ke berhadapat
seperti membentuk sebuah payung. Dibawah kedua pohon tersebut, terdapat
sepasang kursi dan sebuah meja. Diatasnya telah tersajikan hidangan masakan
yang tercium sangat lezat dari tempatku berdiri dan di tengah-tengah terdapat
sebuah vas kecil berisikan bunga yang telah dirangkai dengan apik.
Kami
berjalan secara bersama menuju meja yang telah disiapkan itu. Roi menarik
sebuah kursi sebelah kiri dan mempersilahkanku duduk. Setelah aku duduk, Roi
duduk dihadapanku. Aku melihat ke piring yang berada di depanku. Isi piringnya
adalah sebuah nasi sedikit dengan berlaukkan cumi goreng. Dan disebelah
piringku terdapat sebuah mangkuk kecil berisikan sup merah sosis, makanan
favoritku. Namun ketika aku melihat isi piring Roi, aku bingung. Isinya hanya
tiga buah kurma.
“Kenapa
dipiringmu hanya ada tiga buah kurma?” tanyaku heran.
“Aku
sudah merasa kenyang bila hanya memakan ini,” jawabnya ringan.
“Apa
tidak sebaiknya kamu turut makan seperti apa yang aku makan? Setidaknya makanan
favoritmu saja,”
“Inilah
makanan favoritku,”
“Ha?
Sejak kapan makanan favortimu kurma? Bukankah nasi goreng adalah makanan
favoritmu?”
“Sejak
saat ini, makanan favorit dan keseharianku adalah kurma,”
“Ayolah
kumohon, makanlah seperti apa yang kumakan,” pintaku sedih.
Roi
tersenyum melihatku, “baiklah,” seketika itu juga isi piring yang tadinya hanya
berisikan tiga buah kurma berubah menjadi nasi berukuran sedikit, cumi goreng,
dan sup merah sosis. Seperti apa yang kumakan. Aku sungguh terkejut melihat
perubahan makanan tersebut. Ketika aku akan mengeluarkan suara untuk bertanya
lagi, Roi menggunakan telunjuknya untuk menutup mulutku dan tak bertanya.
Kami
pun mulai memakan hidangan kami. Rasanya sungguh sangat lezat. Berbeda dengan
masakan yang ada di restoran. Masakan ini sungguh sangat lezat, mengalahkan
masakan hotel berbintang lima sekalipun. Aku menikmati makananku dengan lahap
hingga habis tak bersisakan sedikit pun. Sedikit terasa “seret” di tenggorokan.
Kuminum segelas air putih yang telah disediakan. Hm.. Rasanya begitu segar di
tenggorokan, beda dengan air putih yang pernah aku minum. Ini seperti air yang
benar-benar murni dari pegunungan, mungkin.
Aku
mengambil setangkai kecil anggur dan aku memakannya. Rasanya manis dan di dalam
buah anggur tidak ada biji satu kalipun. Aku tersadar lupa akan tentang Roi.
Kulihat Roi sedang memandangiku sambil tersenyum kecil nan geli. Makanan yang
ada di piringnya sudah habis entah kapan dia memakannya.
“Sudah
kenyang sayang?” tanyanya tersenyum saat aku mulai kebingungan saat mengingat
semua kejadian ketika berubahnya makanan di piringnya Roi begitu menakjubkan.
“Sudah,”
jawabku. “Roi....,”
“Apa
sayangku?”
“Keanehan
apa ini yang sedang aku rasa sekarang? Kenapa semua bisa serasa seperti ada
magic? Ada apa ini, Roi?”
“Ini
bukan magic, sayang. Ini keagungan Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Besar. Semua
ini Tuhan yang memberikan. Tak ada magic. Tak ada campur tangan manusia
sekalipun. Syukuri saja apa yang ada,”
“Berarti.....,”
aku bingung mengatur kata di dalam otakku. Begitu susah mengatur kata demi kata
menjadi sebuah pertanyaan yang aku tuju. Namun dari sekian banyak pertanyaan
yang telah kususun di otak, tak ada satu pun yang pas.
Roi
bangkit dari tempat duduknya. Dipetiknya setangkai bunga mawar merah.
Diberikannya bunga itu padaku. Aku mencium aroma bunga mawar. Dari dekat bunga
mawar itu tercium sangat harum. Harum yang tidak menyengat hidung. Harumnya
berbeda ketika masih berjarak jauh dengan harumnya ketika dekat hidung. Lebih
harum di hidung. Aku tersenyum pada Roi.
Roi
meraih kedua tanganku. Dia mencoba mengangkatku berdiri dan aku pun bangkit.
Dia mengajakku berjalan meninggalkan taman kecil nan cantik ini. entah dia mau
membawaku kemana. Kami berjalan dengan santai namun pasti. Hanya saja aku tidak
tahu tujuan kemana kami ini. Aku hanya mengikuti Roi yang telah kuanggap
sebagai pemimpinku.
Suasana
kami berdua begitu hening. Tak ada suara pun dari mulut Roi. Aku hanya
mengikuti langkah kakinya dan meliha ke sekitar ketika berjalan. Pemandangan
dari pertama hingga sekarang ini berbeda-beda. Padahal aku merasa aku telah
melewati jalan yang sama berulang kali. Tapi kenapa setiap perjalanan memiliki
pemandangan yang berbeda tetapi pemandangannya semakin lama semakin indah. Aku
cuma bisa terkagum-kagum melihat keindahan alam.
Perjalanan
terhenti di sebuah danau yang luas. Airnya bening tak tersentuh kotoran atau
apapun yang dapat merusak keindahan danau. Dipinggir danau terdapat sebuah batu
besar dan ternyata di sebelahnya ada sebuah kapal kayu dayung kecil yang kuat.
Roi pun menarikku untuk dapat menaiki kapal tersebut. Kapal tersebut didorong
terlebih dahulu ke dalam pinggir danau. Lalu aku dan Roi menaiki kapal
tersebut. Aku duduk manis dan di hadapanku Roi mendayung kapal menggunakan
dayung yang telah tersedia. Aku ingin membantu Roi mendayung tapi bantuanku
tolak karena Roi ingin aku menikmati hari ini tanpa merepotkan diriku.
Sekeliling
danau yang aku lihat, di pinggir-pinggir danau hanya ada pepohonan yang rindang
dan rimbun. Namun ketika kapal telah bergerak mengarah ke tengah danau, disana terdapat seperti hutan
mangrove. Ternyata benar. Kami memasuki hutan mangrove. Awalnya aku sedikit
takur ketika kami akan memulai masuk ke dalam hutan mangrove yang terlihat
sempit. Ketika sudah berada di dalam tempatnya indah. Mangrove tumbuh sangat
besar dan jarak kami dari para mangrove ini sangat jauh.
“Mahkotanyaaaaaaa!!”
teriakku ketika melihat mahkota yang kupakai terjatuh ke dalam danau. Aku
menangis melihat mahkota cantik itu terjatuh.
“Sudahlah,
Kia. Mahkota itu tidak penting. Kalau hilang biarkan saja,” hibur Roi. Aku pun
menghapus airmataku. Tak apa aku kehilangan mahkota itu tapi tidak cintaku
padaku padanya.
Sejam
lamanya kami menyusuri danau. Kami pun dari kapal setelah kapal diparkirkan di
pinggir danau. Kami berjalan melewati setapak-setapak yang menyerupai hutan.
Sampailah kami pada sebuah tempat yang terang, sinar putih. Langkah terhenti.
Roi menatapku. Dipegangnya kedua tanganku olehnya.
“Kia....,”
Roi terdiam. “Aku sangat senang sekali bisa menikmati hari ini bersamamu.
Tertawa, bercanda, tersenyum, dan sebagainya bersamamu. Aku sungguh menikmati
hari yang sangat spesial ini. Aku tak akan melupakan hari ini. Sungguh. Tapi
kisah kita hari ini harus terhenti sampai disini.....,”
“Tapi
kenapa, Roi?” potongku.
“Dengarkan
aku dulu, Kia sayang,” Roi memegang wajahku dan menujukan matanya pada mataku.
Aku melihat kesejukan pada kedua bola matanya. “Ini menjadi pertemuan terakhir
kita. Aku tak ingin melihatmu menangis saat aku akan pergi meniggalkanmu. Aku
ingin melihatmu bahagia. Hari ini adalah menjadi kenangan kita yang paling
terindah dan tak akan terlupakan. Kamu tahu diatas sana aku selalu
memperhatikanmu. Aku bangga sama kamu. Kamu dapat melewati harimu dengan riang
dan gembira setelah kepergianku. Kamu hebat bisa lulus kuliah dengan hasil
cumloud. Orang-orang tak banyak yang bisa seperti kamu lho, sayang. Aku juga
bangga melihat kamu mulai membuka usaha butik seperti hobimu dan kamu dapat
menerbitkan beberapa novel ciptaanmu.
Aku
do’ain agar kamu baik-baik saja disana. Sebelum aku pergi, aku ingin bilang
sesuatu padamu. Aku mencintaimu dari lubuk hatiku yang paling dalam. Masih
ingat kan perkataanku tadi saat kubuatkan kau mahkota?”
“Masih,”
jawabku sambil mengangguk kecil.
“Meski
kita tak akan pernah berjumpa kembali, tapi satu yang pasti bahwa kamu adalah
mahkotaku, ratuku, putriku, permasuriku, dan pemilik seluruh ragaku. Jangan
pernah lupakan aku, sayang. Kirimkan do’a untukku. Aku disini akan mendo’akan
dan memperhatikanmu. Jika kamu sedang sedih, tataplah bintang-bintang. Mereka
mewakili aku yang tersenyum untuk menemani malammu dan menghapus sedihmu. Dan
ingatlah suatu hari nanti kamu akan berjumpa dan menemukan penggantiku yang
akan selalu menemani hidupmu. Ikhlaskan kepergianku. Walau aku jauh dimata
tetapi aku dekat disini, dihatimu,” Roi menunjuk jarinya ke hatiku.
Roi
memalingkan badannya dan melangkah secara perlahan meninggalkanku. “Roii...”
cegahku. Roi berhenti melangkah.
“Bolehkah
aku memelukmu dan ciumlah keningku untuk terakhir kalinya?” pintaku padanya.
Roi
memutar badannya ke arahku. Dia melangkah maju mendekatiku. Langsung saja tanpa
Roi yang memulai, kupeluk dirinya dengan erat, sangat erat. Kucium aroma
tubuhnya yang wangi untuk terakhir kali. Airmataku tertahan di mata. Aku tak
ingin menangis dihadapannya ketika ia akan kembali ke alamnya. Pikiranku
sungguh kacau saat mendengar semua perkataannya tadi. Namun aku harus menerimanya seperti aku
mengikhlaskan kepergiannya yang dulu.
Setelah
lama aku memeluk dan mencium aroma tubuhnya, Roi melepas pelukanku. Dipegangnya
pundakku dan ditataplah wajahku. Dia tersenyum manis sekali. Aku hanya bisa
tersenyum sekenanya dengan airmata yang tertahan. Tak lama kemudian, Roi
mencium keningku dengan sedikit agak lama.
“Aku
mencintaimu.... Kia,” ucap Roi setelah selesei mengecup keningku.
“Aku
akan sangat rindu padamu. Aku juga sangat mencintaimu, Roi,” Roi berjalan
mundur secara perlahan dan menghilang.
Aku
terbangun dari tidurku dengan pernapasan yang tersengal-sengal. Kuambil pigora
fotoku bersama Roi di sebelah tempat tidurku. Aku menangis melihat foto itu.
Kupegang dan kuelus tepat pada wajah Roi.
Ini hanya mimpi. Bunga
tidur semata. Namun, bunga tidur ini begitu indah tapi begitu menyedihkan pula.
Sebuah pertemuan terakhir yang hanya melalui mimpi. Hanya saja setiap aroma
yang aku hirup disana masih sangat terasa disini. Aku rindu ketika berada
disana. Ketika menikmati hari bersama Roi. Roi seorang tanpa lainnya,
gumamku dalam hati.
Keesokan
paginya, aku telah siap dengan mengenakan pakaianku. Setelah menikmati
sarapanku, aku pergi menuju butik milikku. Dalam perjalanan aku teringat mimpi
semalam. Kulihat kalender yang berada di hapeku. Hari ini bertepatan setahun
setelah kematian Roi. Kuputuskan untuk memutar balik mobil yang kukendarai
menuju pemakaman Roi. Sebelumnya aku mampir untuk membeli setangkai bunga dan
sebotol air.
Sesampainya
di pintu masuk pemakaman. Dengan langkah pelan, aku masuk ke dalam dan berjalan
menuju pemakamannya Roi. Aku berdiri tepat di makamnya Roi. Kusiramkan makamnya
mulai dari batu nisan bertuliskan nama Roi hingga ujung makamnya. Kuletakkan
bunga yang tadi kubeli diatasnya. Aku duduk dan berdo’a khusus hanya untuk
dirinya. Seusai berdo’a, aku memegang batu nisan yang masih terlihat jelas
tulisan bernama Roi Kurniawan. Aku tersenyum melihat Roi telah tenang dialam
sana..
Setahun
sudah keergiannya. Aku masih saja mencintai dirinya. Entah mengapa. Dia begitu
istimewa bagiku. Dia penghibur hatiku, pengobat lukaku. Hanya dia yang aku
sayangi. Aku akan terus mencoba mengikhlaskan kepergiannya. Dan aku akan terus
mendo’akannya.
Aku
berdiri. Tersenyum sangat manis. Memutar badan dan berjalan meninggalkan makam
Roi. Sambil berjalan menuju mobil, aku melihat ke sekeliling makam. Banyak
makam yang telah terurus baik dan dijaga oleh petugas dengan sangat baik.
Ketika aku menoleh ke depan, “Rooooiii!”
--------------------------------------------------------------------------------
0 komentar