Dibalik Kisah di Pamekasan

23.33

Seminggu sebelum bulan Ramadhan, ibu mengajak saya untuk menemaninya ke Pamekasan dimana disana ibu akan bekerja menemui rekan kerjanya di sebuah desa Palengaan. Dikarenakan papa saya akan ikut juga dan daripada saya dirumah sendirian, saya pun ikut sekaligus saya belum pernah ke Pamekasan saat itu. Apalagi ke sebuah desa. Belum sama sekali. Momen-momen yang saya suka disana adalah pemandangannya yang subhanallah indah dan menyejukkan hati sekali. Pemandangan seperti ini tidak didapatkan di kota Surabaya. Berasa sangat sejuk dan semriwing gitu anginnya. Tetapi kalau lagi panas, panasnya bikin kulit makin hitam. Harus banyak-banyak pakai body lotion (ini seriusan). Anehnya setiap saya pergi ke Madura, di pagi hingga siang hari hawanya akan panas dan di sore hingga malam hari hujan akan turun terus-menerus, entah itu deras atau hanya rintik-rintik (mungkin saya pembawa hujan kali ya disana).





Pertama kali sampai di Pamekasan kami langsung menuju sebuah PUSTU (Puskesmas Pembantu) di desa tersebut. Bahkan untuk dinamakan sebuah puskesmas terlihat dari luar sangatlah berbeda jauh dengan ekspektasi kita. Karena puskesmas ini terlihat seperti rumah tinggal biasa tanpa nama petunjuk bahwa ini adalah sebuah puskesmas. Jalanannya termasuk lumayan bagus, naik turun naik turun seperti di pegunungan. Dan di puskesmas tersebut saya mengenal teman baru. Namanya Nayla. Umurnya tidak beda jauh sama saya dan dia seorang bidan (sudah lulus loh) yang juga sedang dalam melakukan misi pekerjaan dengan ibu saya yang juga dibantu oleh mas-mas (karena tidak tahu namanya, saya panggil mas aja). Satu lagi bu Immi, yang menjadi kepercayaan di puskesmas setempat. Karena saat itu sudah terlalu sore, akhirnya diputuskan untuk berkeliling keesokan harinya. Sebenarnya ada yang menawarkan rumahnya untuk kami tinggali, namun ketika ibu kroscek tempatnya, medan perjalanan kesana menggunakan mobil sangat tidak mungkin apalagi juga tidak disarankan untuk meninggalkan mobil di puskesmas. Dan yang lebih pentingnya lagi, saya ataupun ibu ataupun papa tidak berani melewati medan yang lebih njojrog lagi, 


Penampakan puskesmas desa Palengaan, Pamekasan yang seperti rumah biasa

Bahagia itu tidak hanya di dapatkan ketika kita menjadi orang kaya, Ketika kita sedang tidak mampu secara finansial tetapi bahagia itu bisa di dapatkan secara fisik yang sehat dan rohani. Percuma menjadi orang kaya jika hatinya tidak tenang, sering sakit-sakitan dimana uang yang dimiliki akan habis nantinya untuk berobat, banyak pikiran negatif, serta hati dan pikirannya tidak senang. Toh mau kaya atau miskin, mau tinggi atau pendek, mau besar atau kecil, dihadapan Allah kita semua ini sama dan tidak dibeda-bedakan.

Sebuah pertemuan yang mungkin tidak akan terbayangkan oleh saya yang untuk pertama kalinya mendapat pelajaran hidup yang penuh makna di dalam keadaan seseorang yang tidak menuntut apa-apa dari kecil, yang tidak memiliki cita-cita secara spesifik seperti pada umumnya yang bercita-cita pada sebuah profesi seperti dokter atau polisi, Tetapi hanya bercita-cita menjadi anak yang soleh. Kenapa saya garis bawahi? Karena kata-kata itu benar-benar menusuk hati. Dimana setiap anak yang akan tumbuh dewasa, akan berpikiran memiliki cita-cita yang memang sudah ada pada umumnya. Dimana orangtua yang mendidik anaknya akan menuntun anaknya untuk berpikiran akan cita-cita yang melulu tentang duniawi saja tanpa menggabungkan akhirat. Saya sendiri pun pertama kali ditanya kalau besar mau jadi apa, saya akan menjawab menjadi seorang dokter bukan lah menjadi anak yang sholehah. 

Menjadi anak yang soleh, bagi sebagian orang akan selalu melontarkan kata-kata itu sebagai do'a, perkataan dan harapan. Tidak ada seorang pun yang mengucapkan kata-kata itu sebagai sebuah cita-cita. Perlu digaris bawahi bahwa kata-kata cita-cita itu bisa dijadikan pemicu untuk terus mengejarnya sama halnya dengan mengejar cita-cita  pada umumnya. Karena jika kata-kata itu hanya sebagai sebuah harapan maka harapan itu tidak akan dikejar sekeras dan sekuat dengan cita-cita.

Beliau (berbaju hijau) yang berfinansial tidak banyak tetapi sangat ber-intelektual yang tinggi

Beliau adalah seorang pria yang tangguh yang berasal dari desa Palengaan, namanya saya tidak ingat siapa, tetapi beliau adalah pria yang tidak mampu secara finansial tetapi secara pemikiran sangat luar biasa. Sebelumnya beliau menderita penyakit Kusta, tetapi menurutnya, beliau telah dinyatakan sembuh karena sudah tidak terlalu merasakannya lagi. Dan sedihnya selama beliau sakit tersebut, beliau dikucilkan, sehingga beliau tidak bekerja. Anehnya, bapaknya yang sedang sakit TBC, bahkan pernah batuk-batuk sampai mengeluarkan darah sampai satu ember, tidak dikucilkan oleh lingkungannya. Malah mereka biasa saja kalau berdekatan. Yang lebih menariknya lagi, menurut masyarakat sini, ketika seseorang yang terkena penyakit ini, ketika sudah meninggal, mereka takut penyakit TBC ini bisa menular kepada keluarganya. Kan seharusnya ditakuti saat orang tersebut masih hidup. Adapun kebiasaan dari masyarakat yang memanggil dukun setempat untuk menghilangkan arwah-arwah penyakit tersebut agar tidak ketularan. Kalau menurut bahasa dukun, penyakit ini dinamakan "cekhlek" (entah tulisannya benar atau tidak.

Uniknya saat perjalanan menuju rumah beliau harus melewati setapak jalan kecil, bahkan mobil pun tidak bisa masuk. Kalau mau ke dusun tempat tinggal beliau harus berjalan dari puskesmas. Tetapi tidak jauh. Yang menariknya lagi, walaupun harus melewati setapak jalannya ketika sampai di rumahnya, lingkungan rumahnya bisa terbilang besar. Karena antara langgar (mushola untuk di rumah), sama rumah tempat tinggal. kamar mandi, dapur, bahkan ada kandang sapi disana terpisah-pisah atap. Walaupun terpisah-pisah dengan bentuk yang kecil tapi jika digabungkan semua., tanahnya akan terlihat besar jumlahnya. Bedanya kalau disini rumahnya tidak dari marmer atau pun keramik tetapi beralaskan tanah aja dengan penambahan kesan yang menarik pada ornamen pagar pintu rumah dan tiang-tiang dengan ukiran yang terlihat indah






"Dahulu ketika saya tidak bekerja sebagai petani, saya sering merasa capek dan lelah. Namun setelah menjadi seorang petani adalah profesi yang paling membuat saya bahagia, karena dengan menjadi petani, saya merasa bahwa tubuh saya ini sangat sehat dan kuat. Layaknya petani yang ada saat ini, walaupun umurnya sudah, banyak keriput dimana-mana, tubuh kurus dan kecil, tetapi fisiknya masih sangat kuat"

Kata-kata itu sangat menarik perhatian saya, karena tidak pernah kita sadari, memang para petani yang sering kita temui adalah bapak atau ibu yang sudah renta dan tua. Tetapi fisiknya masih sangat kuat untuk terus bertani. Dan menjadi petani membuat mereka dapat bekerja sesuka hati mereka, mau bekerja jam berapa pun tidak ada yang mengaturnya. Beliau pun mengajari saya tentang pentingnya untuk bersyukur. Tidak melulu soal harta yang harus dibanggakan, yang diutamakan, yang dipikirkan, Bersyukur dengan apa adanya yang diterima dapat memberikan rasa keikhlasan yang akan membuat hati merasa puas dan bahagia. Karena bahagia itu datang dari dalam diri dengan menimbulkan rasa-rasa yang tidak bisa didapatkan oleh harta apapun. 

Menurut saya, walaupun beliau ini bukan lulusan sekolah tinggi sekalipun, bahkan lulus SD pun tidak, disaat kelas 5, beliau memilih untuk keluar. Dan beliau memantapkan hatinya untuk bersekolah di pondok untuk memperdalam ilmunya yang ingin mencapai cita-citanya menjadi anak yang soleh. Pondok yang beliau pilih pun merupakan pondok yang tidak mengajarkan ilmu umum, murni ilmu agama. Tetapi kecerdasan otak yang beliau miliki murni dari beliau sendiri dan belum tentu dimiliki oleh orang kota seperti saya ini. Terima kasih bapak yang telah memberikan banyak ilmu pelajaran hidup yang tidak akan bisa didapatkan dari sekolah manapun. Ikhlas, sabar, bersyukur, dan mencapai cita-cita duniawi dan akhirat bisa menjadi pelajaran terpenting dalam hidup saya. InsyaAllah saya bisa mencapai keduanya. Amin

You Might Also Like

0 komentar

BLOG POSTS

INSTAGRAM

Subscribe