Buta bukanlah penghalang

20.34


Gelap dan tak ada cahaya. Sejenak terasa sangat hening dan sunyi. Hanya ada suara seseorang yang tak begitu asing bagiku memanggil namaku dengan lembut. Kedua kelopak mataku telah kubuka lebar-lebar. Tapi entah mengapa yang ada di sekitarku begitu sangat gelap. Apakah sedang mati lampu sehingga aku tak mampu melihat apapun? Aku tak tahu aku sedang berada dimana, di sekelilingku ada siapa saja. Namun mendengar suaranya, aku mulai mengenali siapa saja yang berada di sekitarku.

“Ozza, kamu baik-baik aja kan nak?” tanya Mama dengan lembut.

Aku hanya menganggukkan kepala dan berusaha untuk mengucek-ucek kedua mataku berharap aku dapat melihat setitik cahaya. Namun aku gagal. Aku hanya terdiam membisu. Dengan posisi duduk diatas tempat tidurku, aku merasakan adanya selang yang menancap di tangan kananku. Dan bantuan oksigen menempel di hidungku. Aku pun mulai berkata, “Ma, disini gelap sekali. Aku tak dapat melihat apapun. Semuanya terasa gelap dan hitam. Apakah disini sedang mati lampu?”.

“Mati lampu? Tidak kok nak. Lampunya menyala terang benderang. Kamu tidak bisa melihat mama disini?” tanya mama khawatir.

Mendengar mama berkata dengan nada khawatir membuatku tak tega untuk berkata ‘iya’. Kuputuskan untuk berbohong padanya. Aku tak ingin mama menjadi khawatir. “Aku dapat melihat mama dengan jelas. Tenang saja, ma. Ozza tidak apa-apa,” tenangku padanya.

“Benar?” tanya mama meyakinkan. Aku mengangguk kecil.

“Tunjukkan dimana mama berada?” perintahnya.

Kini aku merasa bingung tak menentu. Aku tak tahu mama berada dimana diantara sekitarku. Aku tak dapat melihat apapun sekarang. Semuanya hitam dan gelap. Seakan lampu sedang mati dan awan sedang sangat gelap tanpa hadirnya sinar matahari atau bulan dan bintang. Mama memaksaku untuk dapat melaksanakan perintahnya. Menunjuk dimana mama berada sekarang. Aku tak bisa menjawab dan melaksanakan permintaan mama. Diam seribu bahasa. Hanya itu yang dapat aku lakukan kini. Mama pun berlari keluar kamar dan memanggil dokter. Aku pun mulai sadar bahwa aku sedang berada di rumah sakit.

Tak lama kemudian, datanglah dokter dan memeriksa mataku. Entah apa yang sedang dilakukannya dengan mataku. Aku tak bergerak sedikitpun agar sang dokter dapat memeriksa mataku. Sejenak dokter itu menghela nafas setelah memeriksaku. Dan berkata dengan nada sedih, “Akibat dari kecelakaan Ozza yang di tabrak oleh mobil itu membuat saraf penglihatannya terganggu. Matanya menjadi buta,”

Apa? Aku buta? Kenapa ini bisa terjadi? Aku tak mau BUTA !! Aku ingin bisa melihat ! Apa salahku sehingga aku menjadi buta seperti ini? Aku sudah tak berguna lagi ! Aku BUTA ! Sekarang aku hanya menjadi manusia yang akan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku tak kan bisa membaca novel atau buku pelajaran sedikitpun. Aku sudah tak bisa bermain game di computer. Aku tak bisa pergi berjalan-jalan dan bercanda dengan teman seperjuanganku ke mal atau ke tempat kubiasa nongkrong bersama teman-temanku. Aku adalah manusia yang sudah tidak berguna lagiiiiii !!! teriakku dalam hati.

Aku benar-benar shock mendengar berita itu. Sekarang aku telah buta. Tak bisa melihat apapun. Meskipun aku buta, aku masih bisa merasakan kondisi sekitarku. Aku mendengar mama yang menangis terisak, sedih setelah mendengar kabar yang begitu amat menyedihkan buatku ini. Sekuat tenaga aku tidak menangis dihadapan mama.

Walaupun aku tak rela jika aku harus mengalami kebutaan, tapi aku tak ingin melihat orang yang sangat aku cintai dan aku sayangi sedih karena kondisiku. Aku ingin dapat melihat mama tersenyum bahagia. Meski aku tak dapat melihat, aku bisa merasakan apakah mama sedang bahagia atau sedih. Sekuat tenagaku, aku mencoba untuk menenangkan mama dan meyakinkannya bahwa aku tidak akan apa-apa dengan kondisiku yang buta seperti ini.

“Jangan sedih dong, Ma. Ayo senyum lagi! Hapus air matanya! Aku enggak mau mama nangis gara-gara aku. Aku mau mama bahagia, enggak sedih dan nangis kayak gini. Aku enggak suka ngeliat mama gini. Ayo mama kembali seperti dulu yang tersenyum terus! Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku enggak apa-apa kok. Mama tenang aja,” hiburku.

Mama hanya terdiam dan terus terisak melihat keadaanku. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Badanku mulai melemas. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Aku pasrah akan keadaan. Aku tak bisa menenangkan mama. Kuserahkan pada papa dan Tiara, adikku untuk menenangkan mama. Kusandarkan kepalaku pada bantal tempat tidur yang aku tempati. Mencoba memejamkan mataku dan pergi menuju ke tempat yang jauh dari dunia nyataku.

Berat memang terasa sangat berat harus menerima kenyataan ini. Setelah aku keluar dari rumah sakit, aku terus menerus menyalahkan keadaan dan ketidakgunaanku. Selama seminggu penuh aku tak mau melakukan apapun. Aku merasa sangat putus asa. Aku tak mau makan. Tak mau keluar kamar sedikitpun. Ingin sekali ku melihat televisi. Tapi aku sudah tak bisa melihat. Buat apa aku melihat televisi? Membuang-buang tenagaku saja.

Di dalam kamarpun aku tak melakukan kegiatan apapun. Aku hanya memegang dan bermain-main bola basket kebanggaanku yang sering aku gunakan saat pertandingan basket melawan tim basket sekolah lain dengan sekolahku.  Sangat jarang sekali aku beranjak keluar kamar sekadar hanya untuk melihat suasana luar. Setiap aku akan ingin keluar kamar, aku selalu menabrak tembok maupun pintu. Ketika aku makan pun, sendokku selalu terkena meja dan tidak selalu pas masuk mulutku. Seusai makan, aku pun harus meraba-raba dimana gelasku dan sudah banyak gelas pecah karenaku.

Berkali-kali aku terjatuh di kamar mandi karena terpleset saat aku menjatuhkan sabun. Untung aku tidak apa-apa. Kalau terjadi sesuatu padaku pasti mama dan papa akan sangat sedih. Aku sangat mereka banggakan dan berharap aku dapat menggantikan papa di perusahaannya kelak. Namun dengan keadaanku yang begini, apakah mungkin aku bisa menggantikan papa. Bisa saja dengan kebutaanku ini, aku dapat ditipu oleh karyawan-karyawanku.

Aku sangat merindukan saat dimana aku masih bisa bermain basket disaat aku memiliki waktu luang, dapat pergi jalan-jalan menikmati indahnya kota di siang dan malam hari, dapat menonton film di bioskop, membantu OSIS saat sedang mengadakan acara, memperhatikan dan mencatat hal-hal penting yang guru sampaikan, dan semuanya. Aku kangen semuanyaaa! Aku ingin kembali seperti dulu. Yang dapat melihat dan dapat melakukan berbagai aktifitas yang aku inginkan!  

Disaat aku merasa sangat terpuruk, mama datang kepadaku membawa segelas coklat hangat buatannya yang dapat membuatku sedikit tenang. Mama menemaniku hingga aku dapat tersenyum lagi. Dia selalu memberiku semangat. Semua ucapannya dapat memberi pencerahan padaku. Sebuah semangat dari mama yang sangat aku sukai adalah ketika dia bilang, “Ozza, hidup itu adalah sebuah cobaan. Tanpa cobaan kita tak akan pernah menjadi apa-apa. Tanpa cobaan pula kita pasti tidak akan beribadah untuk menyembah Tuhan yang telah menciptakan kita. Setiap hari adalah cobaan. Kamu tahu? Menjadi orang kaya yang mempunyai harta melimpah itu juga cobaan lho. Cobaan bagi mereka untuk tetap mengingat Tuhan apa tidak. Lagipula, masih banyak diluar sana yang menderita daripada kamu lho, Za. Tapi mereka tidak pernah putus asa dan menyerah. Masa kamu yang hanya kayak gini uda putus asa dan nyerah gitu aja? Masa kamu kalah seh sama orang lain? Nanti mama kecewa lhoo,”

Sebulan telah berlalu dan sebulan itu lah aku belum juga masuk sekolah. Aku masih bingung apa yang akan aku lakukan disekolah? Membaca, aku sudah tak bisa. Menulis, aku masih bisa tapi buat apa aku menulis? Toh aku sudah tak bisa membaca. Melihat gurunya saja aku tak bisa apalagi membaca. Dan kemungkinan besar, aku tak kan bisa berjalan-jalan mengelilingi sekolah seperti sedia kala sebelum aku buta. Aku bisa pergi ke setiap kelas hanya untuk menyapa teman di kelas lain. Aku pun sudah tak bisa bermain basket lagi. Dengan sangat amat terpaksa aku harus mengundurkan diri sebagai kapten. Tapi aku berusaha untuk mengikhlaskannya. Sebagai penggantinya aku serahkan pada Dio, sahabatku yang juga anggota tim basket di sekolahku.

Berkat dukungan dan motivasi yang diberikan mama padaku, aku dapat menerima semua keadaan dan kondisiku saat ini. Aku tidak lagi menyalahkan keadaan dan diriku. Aku ikhlas pada semua yang terjadi padaku. Bukan hanya mama yang memberiku motivasi. Papa dan Tiara pun memberiku semangat yang membuatku dapat bangkit kembali.

Mama membawaku kepada kelas khusus kebutaan. Aku di ajarkan berbagai hal yang tidak pernah aku tahu. Serasa seperti anak TK yang baru belajar. Aku harus mulai dari nol lagi untuk dapat membaca. Namun, disini aku belajar membaca huruf Braille bukan huruf alphabet.

Aku juga mendapatkan seorang teman baru. Namanya Rei. Dia sudah buta sejak dia lahir. Namun ketika dia mengalami kelumpuhan pada kakinya saat SD. Ketika dia akan berangkat sekolah, tak sengaja ada seorang pengendara motor menabrak Rei hingga Rei menjadi lumpuh. Kini ia masih dapat bersekolah dan beraktifitas layaknya seorang cewek yang sempurna yang tidak punya kecacatan. Dia dapat memasak layaknya seorang cewek. Dia dapat melukiskan sesuatu. Meski dia tak tahu apa yang dilukisnya itu hasilnya bagus atau tidak. Yang jelas hasil dari lukisannya itu laku terjual habis saat dia mengadakan pameran lukisan dua bulan yang lalu.

Dia tak pernah menyerah sedikitpun untuk dapat beraktifitas seperti layaknya orang yang tak buta dan lumpuh. Ejekan atau hinaan sering terjadi padanya. Hanya saja dia tak pernah menghiraukan ejekan siapapun. Baginya setiap hinaan yang dia terima adalah sebuah motivasi dan semangat baginya untuk dapat menjadi seperti mereka yang menghinanya. Dan hasilnya sekarang dia dapat membuktikan pada semua orang bahwa dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Orang kondisinya sesempurna apapun masih bisa dikalahkan olehnya.

Aku sangat kagum padanya.  Aku ingin seperti dirinya, yang dapat melakukan berbagai aktifitas apapun yang aku inginkan. Aku akan mencontoh Rei. Dia adalah pedoman dan pembimbingku kini. Dia mengajariku berbagai hal tentang arti hidup yang sesungguhnya. Karenanya aku mulai sadar untuk tidak berputus asa lagi. Hidupku masih lebih sempurna daripada Rei. Tak ada sedikitpun dari teman-temanku yang menghinaku. Sehingga tak ada alasan bagiku untuk malu menunjukkan sesosok diriku pada khalayak  atas kemampuanku.
Mama dan Rei akan membantuku setiap aku akan ingin belajar tentang suatu hal yang belum aku bisa. Dengan fasilitas yang mama dan papa berikan, itu sangat membantuku untuk dapat menjadi manusia yang  berguna. Aku belajar mengetikkan kalimat atau paragraf pada Microsoft word yang menjadi sebuah cerita-cerita indah nan mengesankan. Aku hanya perlu mengucapkan kata apa yang ingin aku buka pada alat yang sudah dibuat khusus untuk dapat membantuku dalam penggunaan laptop.

Hari demi hari telah berlalu. Aku sudah dapat melakukan berbagai kegiatan yang aku inginkan. Aku sudah tak malu lagi atas kecacatanku ini. Meski aku harus dibantu oleh tongkat yang membantuku untuk menunjukkan jalan, aku tidak malu dan aku merasa seperti manusia yang tidak buta. Dengan kebutaanku ini, aku dapat menerbitkan sebuah novel ciptaanku sendiri. Di usiaku yang sudah menginjak 17 tahun, aku telah menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. Aku menjadi seorang penulis. Pada awalnya aku tak ada niatan untuk menjadi seorang penulis. Akibat dari aku buta ini, aku dapat menciptakan kalimat-kalimat indah yang membentuk paragraf-paragraf dan terciptalah novel. Dan banyak orang yang membaca novelku ini merasa terharu dan termotivasi karena tulisanku. 

You Might Also Like

0 komentar

BLOG POSTS

INSTAGRAM

Subscribe